Ramadan Kali Ini..
Jelajah Masjid yang Belum Kelar
PALEMBANG –
Subhannallah yah,.. Bulan Ramadan yang dijanjikan sebagai bulan penuh
rahmat, karena seluruh kegiatan ibadah akan diganjar dengan pahala yang
berlipat ganda, menjadi pemicut keinginan untuk selalu ke masjid.
Beruntungnya, tinggal di negara yang dominan beragama Islam.
Saya pun, belum bisa memastikan jika tinggal, menetap dan berkembang di negara
yang bukan mayoritas Islam akan terpacu menjadi islam yang taat. Ini berkah,
kehidupan keluarga dan lingkungan yang membuat saya sangat ingin belajar
tentang islam. Alhamdulilah.
Sebelum bercerita lebih banyak, dari lubuk hati yang
terdalam, saya meminta maaf kepada mereka sebagai ahli ibadah, imam, ustad,
muslim dan muslimah dan terutama umat islam sejagad raya. Tulisan ini, saya
buat dengan benar-benar hanya ingin berbagi. Jika di dalamnya, lebih banyak
terdapat kesalahan, mohon hal tersebut menjadi tanda maaf dari penulis. Karena
baru sampai itulah, kemampuan ilmunya yang saya punya.
Awal Ramadan kali ini terasa amat berbeda. Sebut saja di
minggu pertama, hampir setiap hari saya menyambangi masjid besar di tengah kota
Palembang, Masjid Agung Palembang. Ini yang saya sebut, berkah Ramadan.
Karena hampir semua orang, amat banyak ke masjid. Bukan
berniat untuk “menyentil” kebersamaan yang begitu nampak seragam itu, tapi hal
itu menyakinkan saya jika benar, bahwa islam itu agama yang besar, islam masih menjadi
kenyakinan banyak umat (di Palembang).
Semuanya, nampak khusyuk beribadah, dan banyak juga yang
mengendap di masjid hanya untuk beristirahat dan tidur. Mungkin, untuk
memperpedek rentang hidup, karena dengan tidur, maka tidak cukup banyak energi
terhabiskan. Mungkin juga, beristirahat, karena Ramadan juga mengalihkan banyak
kegiatan ibadah di malam hari. Mungkin lagi, tidur yang hanya benar-benar
istrihat. Karena saat tidak puasa,
pilihan beristirahat atau senggang banyak dilakukan di warung-warung makan, dan
tempat makan lainnya.
Dari setiap sudut saya lihat, keinginan untuk tetap menjaga
ibadah para umat sangat tinggi. Karena itulah, bersama teman saya, kami
memutuskan merasakan untuk berbuka bersama di salah satu masjid tertua di kota
Palembang tersebut.
Subhanallah ya.. (lagi), saat di masjid itu, takjil yang
dibagikan gratis cukup berkelas. Diawali dengan minuman kemasan dan beberapa
glinting buah kurma, lalu nasi kotak. Awalnya kami pikir ini amat banyak. Selain
itu, menariknya lagi, lauk dari nasi kotak berupa gulai daging. Jika diskalakan,
nilainya rasa gulai itu diangka 7.
Karena, meski lauknya sangat sederhana, namun rasa dan
kekhasan makanan timur tengah dan penas kota Palembang amat terasa.
Padaha sebelumnya, kami mensangsikan jika makanan itu bisa menutupi
selera lapar kami yang telah setengah hari berpuasa. Namun, prediksi itu salah.
Nasi kotak yang berisi nasi, daging gulai dan buah timun itu amat membantu.
Cukup untuk hanya mendapatkan nikmat kenyang sebagai pembukaan menu makan.
Tapi, setelah kami amati lagi. Mungkin wajar juga jika
pengurus masjid ini memberikan makanan dalam bentuk nasi. Seharinya, pengurus
masjid angung membagikan hingga lebih dari 200 nasi kotak kepada siapa pun yang
berada di masjid saat hedak berbuka puasa.
Karena kami kira, (mungkin) para umat diberi nasi dalam
katagori karbonhidrat, dan protein dalam porsi lumayan berat sebagai persiapan
melaksanakan sholat. Sholat tarawehnya sebanyak 23 rakaat. Menulis dan
melafalkan kata 23 rakaat memang mudah, tapi silakkan jika ingin mencoba
langsung. Datanglah ke masjid ini, saat akan menunaikan sholat taraweh.
(Insyallah setiap Ramadan, bisa merasakan sholat taraweh 23 rakaat).
Awalnya malah, kami tidak mengira jika jumlah rakaat akan
sebanyak ini. Karena saat mencari makanan di luar masjid, kami sempat
menanyakan jumlah rakaat sholat taraweh yang dilaksanakan di Masjid Agung.
Mereka (salah satu umat) mengatakan hanya 9 rakaat. Terang, informasi itu
membuat kami makin semangat. Karena dengan perut yang lumayan kenyang,
menunaikan sholat sekitar belasan rakaat bukan menjadi masalah.
Tapi, informasi itu ternyata salah penafsiran. Kami baru
tahu, jika jumlah rakaat sholat taraweh sebanyak 23 rakaat, saat rakaat keempat
pada hitungan kedua kali duduk tahiyat akhir. Saat itu, kamipun, menyakini
setelah delapan rakaat, maka tinggal satu rakaat witir untuk dilaksanakan. Bahkan,
saya juga saya salah niat sholat. Saya sudah niatkan sholat witir, ternyata
masih harus sholat taraweh di rakaat keempat yang ketiga. (jujur)
Allahuakbar.. Muka kami sudah nampak mau pingsan. Apalagi,
kami juga baru sadar, jika ayat pendek yang dibacakan imam dalam serangkaian
sholat taraweh itu, merupakan satu juz surat dalam alquran. Istilahnya, satu
malam sholat taraweh membaca satu juz surat alquran. Kebetulannnya lagi, malam
tersebut, juz yang dibacakan al-baqoroh dengan panjang surat yang lumayan buat
otot kaki lemes. (Semoga, saat menceritakan pengalaman ini, amalan sholat kami itu
diterima, ya allah.. Aamiin).
Karena, ini bukan soal mangkelan ya Allah. Hanya “terkejut”,
dan belum punya persiapan. Di rakaat belasan, rasannya antara perut dan
keringat saling kontradiktif. Kenapa makin terasa lapar, makin berkeringat. Apakah, metabolisme gulai tadi begitu cepat yang
disebabkan energi bagi sholat 23 rakaat. Apalagi, setau kami saat melihat di siara
televisi yang dikelola masjid, jika sholat taraweh itu dipimpin oleh dua orang imam
secara bergantian.
Allah, sekali lagi ini
bukan ini riya atau pamer ibadah. Ini hanya berbagi, agar yang membaca nantinya
harus punya persiapan untuk sholat khusyuk di masjid Agung Palembang saat bulan
Ramadan.
“Jangan sampai, pengalaman taraweh di masjid agung, kami
terulang,”ujarku membatin.
Tapi ini, pengalaman ini amat berharga. Bersama dengan teman
karib yang satu ini, (maaf belum dipublikasikan, karena belum minta izin pada
yang punya nama untuk bisa dituliskan), kami akhirnya bisa tertawa lepas di
luar masjid. Kami saling tatap, kami menjaga ucapan, tapi kami nyakin, apa yang
ada di kepala kami tidak lain, bernada sama. Sama-sama tidak nyakin, jika kami
sudah bisa sholat taraweh 23 rakaat, plus mengaji satu juz alquran malam itu.
Alhamdulilah, satu kalimat yang akhirnya terlontar,
“Nasi kotak tadi, amat sangat sesuai dengan takaran. Hanya
kurang air yang seharusnnya sebotol besar agar setiap lapar masih bisa diganjal
dengan air,”.
Tapi belum berakhir, satu lagi yang membuat pengalaman sholat
taraweh di masjid itu, menjadi berkesan. Kesalahan menitipkan sepatu. Karena
buru-buru, saya percaya diri menitipkan sepatu di dekat tempat wudhu laki-laki.
Itu kenapa saat usai melaksanakan serangkaian sholat tadi, mulai dari sholat
masuk masjid, sholat magrib, sholat sunat isyah, sholat taraweh dan sholat
witir dan masih dalam kondisi lunglai, mata masih bisa fokus. Saya duduk dan
beristirahat memasang sepatu di kalangan laki-laki, ya sebagian besar keturunan
arab yang enak dipandang mata. Alhamdulilah ya Allah. (Sekali lagi ini hanya
berbagi).
Tunggu,,masih akan ada cerita lainnya..
Komentar
Posting Komentar