Semangat Restorasi di Kawasan Hutan (1)


Dari Terbakar Hingga Tergenang
Langkah Joni Saputra, 35, menuju sawahnya tidak lagi semangat. Tak bawa parang apalagi benih untuk ditabur. Hamparan sawahnya sudah terendam, dua tahun terakhir. Menanam tak bisa apalagi panen.
Bukan hanya Joni, hampir 823 Kepala Keluarga (KK) di Desa Perigi, Kecamatan Panggala Lampam kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mengalami hal serupa, mereka gagal tanam. Kini guna mencukupi beras, mereka membeli dari pasar. Lumbung di rumah nyaris kosong, produksi beras sudah menipis sejak tahun 2015. Tepat, saat Sumsel mengalami kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) hebat di kawasan gambut.
Iya, lahan sawah Joni dan masyarakat Peringi berkontur gambut. Sistem tanam sawahpun dilakukan dengan sistem sonor (menabur). Sistem ini kerap dilakukan menjelang dan saat musim kemarau. Akibat tidak punya banyak alat pertanian, sistem bersawah diawali dengan membakar tumpukan. Harapannya, sisa pembakaran menjadi pupuk saat bertanam padi.
Sistem padi sonor sudah turun temurun dikenalkan oleh generasi sebelumnya. Selain sonor, masyarakat Perigi juga bertanam karet dan mencari ikan,
“Sejak tahun 2016 lalu, kami tidak bisa menanam. Lahan terendam air tinggi, karena pemerintah membuat kanal dalam program cetak sawah. Pemerintah membuat sekat-sekat kanal yang belum tuntas, akibatnya lahan terendam 120 cm,”ujar Kepala Kelompok Tani Bersatu Makmur, Edi Saputra, akhir pekan lalu.
Ia menuturkan, lahan yang dikelolannya saat ini merupakan lahan hutan, namun berstatus Areal Peruntukkan Lain (APL). Lahan itu, sejak tahun 1960 makin hilang tegakkan pohonya. Lahan inipun sempat berdampingan dengan lahan hutan produksi lalu kemudian hutan Suaka Marga Satwa (SM) Sembokor.
“Masyarakat sudah lama mengusahakan sawah, padi sonor. Varietas yang ditaman juga sudah berganti-ganti dan terakhir padi putih. Hasilnya lumayan, bisa mencapai 5-10 ton/hektar”ujarnya.
Pendapatan padi ini kemudian menjadi lumbung pangan keluarga. Kata Edi, padi yang dihasilkan terlebih dahulu disimpan untuk kebutuhan di rumah, disiapkan menjadi benih baru kemudian dijual ke pasar. Hampir seluruh keluarga di desa yang sempat menjadi sumber titik (hotspot) di OKI melakukan budaya tersebut,
“Kami sejak dari nenek moyang, diajarkan menyimpan beras (lumbung di rumah). Saat lumbung penuh, disana perut keluarga lebih bisa terisi. Tidak ada kekhawatiran untuk makan,”ujarnya.
Tapi itu dahulu. Semakin mendekati 2015, produksi padi sonor cendrung menurun. Masyarakat dilarang membakar sisa sawah sonor mereka, namun tidak juga dipersiapkan peralatan pertanian,
“Padahal secara adat, kami juga diajarkan teknik membakar padi. Kumpalan padi yang akan dibakar terlebih dahulu dibersihkan. Hal itu agar api tidak menyambar sekeliling. Kami terpaksa membakar agar lebih mudah menabur padi,”ujarnya.
Iklim kering 2015 menyebabkan kebakaran besar di Perigi. Di 2016, pemerintah berkeinginan mengubah sistem padi sonor menjadi sistem sawah irigasi. Beberapa kanal dibuka dan didibasahi, termasuk sawah Joni dan Edi. Program cetak sawah di Desa Perigi mencapai 862 hektar (ha).  Namun kata Edi, cetak sawah baru mencapai 562 ha.
Ia bersama dengan masyarakat desa juga sudah melaporkan permasalahan tersebut pada Dinas Pertanian kabupaten OKI termasuk menyampaikan kepada Pemprov Sumsel.
“Kami menilai pembuatan kanal belum selesai. Pembuatan kanal tersisa 303 ha sedangkan salurannya belum terhubung ke Muara Sungai,”ujarnya.
Dia mengatakan saluran air yang tergenang perlu mendapatkan perlakuan teknis. Seperti menyelesaikan kanal dan saluran air menuju Muara Sungai. Sayangnya, saluran yang mengarah muara haruslah melintasi lahan berstatus hutan lindung SM Sembokor,
“Butuh sekitar 1.200 meter ke Muara Sungai Sugihan, agar tata air bisa dikenalikan. Menanam padi, butuh air setinggi 20-40 cm. Perlu mengalirkan air hingga ke Muara agar irigasi sawah tertata,”ungkapnya.
Sayangnya, permasalahan izin melintasi dan penggunaan kawasan hutan lindung harus dikordinasikan bersama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Edi memperlihatkan kondisi sawahnya saat kunjungan peserta workshop jurnalis yang diselenggarakan Center for International Foresty Research (CIFOR), dan The Society of Indonesia Enviromental Journalist (SIEJ).
Dalam kunjungan itu, Peneliti Unsri, Prof Rujito mengatakan manajemen tata air (drainase) sangat diperlukan. Perlakukan mengubah topologi sawah sonor menjadi irigasi membutuhkan langkah yang komperhensif. Misalnya, menyelesaikan tata air dan pemanfaatan lahan pertanian lainnya.
“Butuh langkah-langkah berkesinambungan, diawali dengan manajemen tata air, mencari varietas padi yang adaptif terhadap lahan basa dan asam termasuk memperkuat ekonomi masyarakat dengan kegiatan lainnya,”ujarnya.
Konsep ini yang menjadi semangat restorasi. Dalam meet and press jurnalis, Jum’at (5/5), ia menjelaskan restorasi bertujuan mengembalikan fungsi gambut. Kebiasaan membakar usai panen padi sonor, mengakibatkan kerusakan gambut. Kawasan gambut yang menjadi lahan sawah padi sonor kerap terkabar saat musim kemarau. Keadaan itu mengakibatkan fungsi gambut sebagai penyekap karbon berkurang hingga mempercepat pemanasan global,
“Restorasi juga perlu menjawab permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat. Bagaimana memberikan masyarakat solusi atas budaya membakar. Restorasi dilakukan dengan menata air, menganti tanaman dan memberdayakan ekonomi masyarakat,”pungkasnya.



Komentar

Postingan Populer