Jurnalis dan Jeruji

Kala itu, Minke sudah bertemu dengan
Annelies seorang gadis peranakan Belanda dan pribumi yang makin menyulutkan
semangat menulisnya kian garang. Dia pun menulis dalam bahasa Belanda, agar
kelas penjajah makin mengetahui perlawanannya.
Kata Minke, kekuatan-kekuatan
terdasyat yang tidak terduga akan timbul dari samudra, pada gunung berapi dan
pada pribadi yang tahu benar apa yang menjadi tujuan hidupnya. Minke semakin
sering menulis, karena dia tahu bahwa tulisannya ialah perjuangannya.
Meski bukan berada di kelas bawah,
dia berusaha memahami seluk beluk kehidupan rakyat jelata. Lewat seorang
petani, bernama Trunodongso, Minke merasakan penderita rakyat terjajah guna
menghasilkan karya yang lebih nyata. Mungkin, pendekatan emosional yang ingin
didapatnya.
Sempat tinggal di keluarga
Trunodongso, saat masa penjajahan Belanda mukin akan sangat terbanyangkan.
Tinggal di desa, dengan jeratan perampasan koloni akan hasil tanam, sudah
menjadi makanan rakyat kala itu.
Melihat penderitaan itu, Minke tidak
tinggal diam. Ia terus menulis, bahkan mendirikan organisasi dan sebuah
perusahaan surat kabar. Langkah Minke makin tak surut, meski penjajah terus
meneror keberadaan surat kabarnya, Medan Priyanyi. Baik sebagai pemilik media,
dan seorang jurnalis, konsistensi Minke terus terjaga.
Sepenggal cerita tiga paragraf di
atas, merupakan karya fiksi dari pengarang Pramoedya Ananta Toer. Meski banyak
orang yang mengartikan Minke ialah sosok Tirto Adhie Soerjo, yang merupakan
bapak Pers Nasional, yang real dan nyata.
Pramoedya, sang penulis karya fiksi juga dikenal sebagai jurnalis. Tumpukan
penghargaan berhasil diraihnya, hingga tingkat internasional. Kemegahan namanya
bukan penjamin jalan Pramoedya tanpa terjal. Alam pengasingan di Pulau Buru,
kehidupan penjara, hingga terakhir dengan status tahanan politik di tahun 1980
an, menjadi pengalaman hidupnya. Kala itu, Prameodya dan tokoh perjuang
bersuara keras dengan tulisannya, meski bertemu dengan jeruji penjara.
Kisah-kisah Minke dan semangatnya diakui sering menjadi nyala api bagi
profesi jurnalis. Banyak jurnalis yang kerap bercerita dan mengaku sudah
mengenal buku Pramoedya sejak bangku kuliah. Semangat Minke inipun diakui
sering menjadi penyala profesi jurnalis. Beberapa jurnalis kerap mengaku sudah
mengenal buku Pramoedya sejak berada di bangku kuliah. Intinya, semangat
berapi-api Minke menjadi inspirasi idealisme jurnalis.
Menarik cerita fiksi ke dunia nyata memang bukan perihal mudah. Jurnalis
yang dikenal dengan kemampuan menulis, menginformasikan kebenaran melalui fakta
merupakan tuntutan idealis profesi yang tak lekang oleh zaman. Meski zaman kian
tereduksi dalam sebuah industri, pencarian keuntungan semata namun hendaknya
semangat demikian tak padam.
Pertanyaannya, sekarang. Apakah tuntutan demikian masih menjadi misi
jurnalis saat ini. Beberapa hari lalu, masyarakat pers sangat gencar memperbincangkaan
seseorang yang menjadi “supir” tersangka KPK atas kasus korupsi e-KTP. Setanah
air, apalagi masyarakat pers kian ramai ketika mengetahui orang-orang di lini
terdekat tersangka korupsi, ialah jurnalis. Dia, seorang jurnalis inipun
diceritakan cukup lama berada di sebuah apartemen bersama dengan tersangka yang
tengah diburu oleh para penegak hukum.
Jurnalis ini dinilai tidak turut berjuang dalam agenda pemberantasan
korupsi yang menjadi agenda bersama masyarakat Indonesia saat ini. Seolah,
berperan menjadi pelindung. Kalimat Ini, nampaknya bernada seperti penghakiman.
Saat penulis belum pernah kenal atau berinteraksi dengan jurnalis tersebut.
Akan tetapi, baik buruknya sang jurnalis berada di apartemen yang menjadi
simbol kemewahaan ekonomi, saat jumlah masyarakat miskin masih tinggi. Saat
masih ada masyarakat yang sulit menjangkau kepemilikan rumah, berjuang
memperoleh legalitas atas desakan konflik lahan oleh perusahaan. Saat itu,
jurnalis malah bersama tersangka korupsi.
Namun ceritanya berubah, setelah kecelakaan lalu lintas dialami oleh
tersangka korupsi. Entah, apakah yang terjadi sebelum kecelakaan?. Apakah benar
antar keduanya terjadi keributan, atau malah memiliki kesamaan ide, atau
sama-sama berharap keajaiban datang di masa sulit. Termasuk di saat
seluruh pengguna sosial kompak “membully” sang aktor dari Sabang hingga
Marauke. (meski frekuensi penggunaan media sosial juga masih didominasi kaum
pemilik smartphone dan mereka yang berada di kemudahaan ruang sinyal provider).
Saat mobil yang disupirin jurnalis itupun menabrak sebuah tiang lampu
jalan, gaduh kembali terjadi. Berita tersangka dan jurnalisnya makin deras
diberitakan para jurnalis. Di media sosial, warganet juga berpendapat dan
menulis begitu aktif mirip jurnalis. Lalu, bagaimana akhirnya publik
menilai jurnalis?. Bagaimana jurnalis lainnya, harus juga bersikap?. Beginikah
cerminan jurnalis saat ini?. Apakah benar, sudah jauh dari nyala semangat
Minke?.
Tentu, saat tulisan inipun dilempar di blogg pribadi, akan muncul opini
yang beragam. Terutama, mereka yang menyatakan, dua contoh jurnalis di atas
hidup di masa berbeda, hidup di tuntutan profesi berbeda dan akhirnya
perdebatan itupun bisa dibenarkan.
Meski berada di masa yang berbeda, masih ada hal yang terwariskan
pada para jurnalis saat ini. Sebuah ancaman nyata. Sama seperti Minke,
ancaman dipenjara karena karyanya. Masih di rentang waktu yang berdekatan
ternyata kerja jurnalis masih teracam pada jeruji penjara.
Sebut saja, beberapa aturan yang mengancam kebebesan pers yang saat ini
masih digunakan penyidik dalam memproses laporan atas jurnalis. Kitab Umum
Hukum Pidana saja terdapat 37 pasal yang sangat menjerat jurnalis ke penjara.
Selain itu, ancaman lainnya berasal dari UU intelejen Negara, UU nomor 11 tahun
2008 tentang ITE, UU nomor 14 tahun 2008, tentang KIP hingga UU mengenai
kerahasian negara. Tumpukan produk hukum ini, sangat bisa membuat jurnalis
merasakan seperti halnya yang dirasakan Minke di masanya, jeruji penjara.
Sehingga, pertanyaan yang masih sama sepeti dahulu. Bagaimana perlindungan
jurnalis dalam menjalankan profesinya?. Bagaimana dalam peristiwa tabrakan yang
dialami jurnalis bersama dengan tersangka KPK di atas, apakah jurnalisnya juga
mendapatkan perlindungan?. Bahkan, saat polisi sudah menetapkannya sebagai
tersangka atas kejadian lakalantas yang turut dialaminya. Mungkin ancaman
hukuman tidak berat, namun semua cerita jurnalis diatas ternyata berakhir
dengan banyangan jeruji penjara.
Komentar
Posting Komentar