Jurnalis juga Perlu Peringati May Day






Sebelumnya, selamat hari buruh.

Relasi hubungan industri yang dibangun dengan sistem pengupahan, mengakibatkan para pekerja disebut dengan buruh. Ini yang menguatkan sebagian besar pandangan kami, terutama yang berada di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan jurnalis juga  buruh dari sistem industri, tidak lain sebuah sistem industri media. Tentu dengan berbagai persoalan yang masih dialaminya.



Berangkat dari perdebatan apakah jurnalis juga buruh atau bukan. Ada baiknya, kita menengok bagaimana kelas-kelas pekerja atau dikenal dengan buruh melakukan pergerakkannya sejak dulu di Indonesia. Peringatan may day atau dikenal dengan hari buruh internasional sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Hanya saja, pergolakan politik dalam dasawarsa sebelumnya, membuatnya harus “dilenyapkan” dengan stigma bahwa peringatan hari buruh indentik dengan paham yang mati-matian dimusuhin di Indonesia.

Untuk lebih mudah, menengok pasang surut peringatan hari buruh di Indonesia, maka fasenya bisa dibagi sebelum kemerdekaan, setelah dan saat ini. Setelah kemerdekaan, perjuangan buruh di Indonesia sedikit menuai hasil, yakni lahir peraturan mengenai tunjangan hari raya sebagai hak buruh. Dari berbagai sumber menyebutkan pada tahun 1946, atau pada kabinet Syahrir, may day diperbolehkan yang dijamin dalam UU nomor 12 tahun 1948 yang menyatakan pada tanggal tersebut pekerja (buruh) dibebaskan bekerja.

Tentu, euforia kala itu berkembang menjadi demontrasi yang meluas, sehingga akhirnya 19 Mei terjadi mogok besar menuntut perbaikan upah pekerja. Dua tahun setelahnya, perjuangan serikat buruh yang telah meluas dengan perjuangan peraturan mengenai tunjangan hari raya. Meski harus menunggu dua tahun, pada 1954, pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan yang dikenal dengan persekot hari raya melalui surat edaran berjudul hadiah lebaran dan Permen nomor 1/1961, menetapkan tunjangan tersebut sebagai hak buruh.

Menulis perjuangan buruh di Indonesia memang hal menarik. Tidak hanya pada setelah kemerdekaan, para pendahulu juga sudah mengenalkan hari buruh internasional sebagai bagian dari perjuangan kelas pekerja di Indonesia.

Pada tahun 1921 misalnya, HOS Tjokroaminoto bersama dengan Soekarno berpidato lantang jika mereka mewakili kelas buruh Indonesia. Dua tahun setelahnya, Semaun yang menjadi Ketua pertama PKI juga menyerukan agar buruh bersatu dan mogok menuntut kesejahteraan lebih baik. Meski partai ini kandas juga di tahun 1926.

Kembali menelisik perjuangan buruh di Indonesia, yang pasang surut mencatat tragedi suram saat hari buruh dihapuskan pada sekitar tahun 1967- atau masa Orde baru. Meski demikian, perjuangan buruh masih berlangsung meski harus mendapatkan represivitas dari penguasa. Salah satunya, mogok pekerja perusahaan di Surabaya yang menyebabkan pekerja Marsinah tewas di tahun 1993.

Potret suram itu berubah saat setelah reformasi, saat presiden BJ Habibie memperbaiki konvensi ILO tentang kebebeasan pers berserikat buruh dan dikeluarkannya UU nomo 21 tahun 2000 (https://beritagar.id/artikel/berita/sejarah-hari-buruh-di-indonesia) yang diikuti oleh UU nomor 21 tahun 2000.

Saat itu, aksi-aksi buruh masih terpusat di beberapa kota besar di Indonesia, dan baru pada 2014, 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur nasional. Meski pada tanggal itu, para pekerja diliburkan dengan rutinasnya, sekelumit permasalahan pekerja masih menyelimuti, termasuk pada jurnalis.

Tradisi untuk memperingati may day digelar oleh sebagian besar jurnalis dengan isu-isu ketenagakerjaan yang terus diperjuangan.

Sebagai pekerja (buruh), jurnalis masih dibayangi dengan persoalan yang sama dengan pekerja lainnya, misalnya sistem kerja kontrak yang berkepanjangan, tidak terpenuhinya standar gaji atau upah sebagai dengan upah minimum regional (UMR), hingga persoalan pemutusan hubungan kerja sepihak yang tentu merugikan pekerja.

Berangkat dari itu, AJI makin konsen bahwa jurnalis atau pekerja masih dihantui permasalahan ketenagakerjaan yang kian kompleks.Misalnya saja, selain status ketenagakerjaan atau sistem kerja lepas yang melepaskan perusahaan dari kewajiban jaminan sosial, seperti kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan, pembentukan serikat kerja juga sangat minim.

Catatan AJI, jumlah serikat kerja yang dibangun oleh perusahaan media, barulah 25 serikat, namun Dewan Pers sudah merilis bahwa jumlah media di Indonesia mencapai 47.000 unit. Perkembangan unit media, ternyata tidak sejalan dengan upaya perlindungan terhadap jurnalis. Keberadaan serikat pekerja sangat penting dalam memperkuat posisi para pekerja dalam pengambilan kebijakan di sebuah unit perusahaan. Jika keberadaannya pun tidak didukung, atau malah tidak dibangun, maka pekerja akan semakin sulit memperoleh kesejahteraan.

Perbandingan jumlah serikat dan unit media yang terus berkembang, merupakan perbandingan yang sangat jomplang bagi perjuangan buruh mendapatkan kesejahteraan. Belum lagi, pemenuhan hak bagi jurnalis perempuan, seperti cuti haid, melahirkan dan tersedianya ruang laktasi di perusahaan masih belum banyak dipenuhi. Belum lagi, ancaman jurnalis perempuan, karena kekerasan seksual juga lebih tinggi.

Sekelumit persoalan yang dihadapi jurnalis ini, diperlengkap dengan ancaman kekerasan yang makin sering dialami jurnalis dalam menjalani profesinya. AJI Indonesia mencatat pada tahun 2018, kekerasan terhadap jurnalis meningkat dan dengan masih didominasi oleh kekerasan fisik, dan lainnya. Jumlah kekerasan yang dialami jurnalis Indonesia di tahun tersebut sudah lebih dari 60 kejadian.

Tak cukup sampai di situ, perkembangan teknologi, yang mengharuskan media “beradaptasi” juga masih mengancam kepastian ketenagakerjaan bagi jurnalis di Indonesia. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) menangani 11 kasus ketenagakerjaan di tujuh media perusahaan. Dari jumlah itu, lima disebabkan oleh berhentinya operasional media cetak (senjakala media cetak). Perselisihan kasus ketenagakerjaan biasanya pada pola yang sama, yakni perusahaan tidak mampu lagi bersaing akibat perkembangan teknologi tersebut. Sebaiknya, perusahaan membangun sistem (manajemen) yang lebih mampu menghadapi tuberlensi media sehingga tidak berimbas pada tenagakerjannya.

Hingga akhirnya, mungkin bukan kata sekelumit lagi yang dipakai dalam menggambarkan permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi jurnalis saat ini, namun lebih pada “semakin menumpuk,”. Karena itu, kesadaran untuk berserikat dan menguatkan barisan juga menjadi bagian penting yang harus dipupuk oleh para jurnalis agar makin kuat dan sejahtera. Bukanlah, saat jurnalis “sehat” maka perusahaan akan semakin maju dan kuat.
Salam Jurnalis.







Komentar

Postingan Populer