Asa Menjerat Aktor Pembakar
...Masih ingat, kepulan asap itu mengepung langit kami, masih terekam api kebakaran itu membumbung tinggi, dan akhirnya semua memakai masker pelindung hidung dan mulut.. dan hanya berkat rintik hujan di penghujung tahun, semuanya sirna...
Tahun lalu, 2015, menjadi tahun paling suram bagi ekologi
lingkungan Sumsel. Mengapa tidak, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)
berlangsung lebih dari empat bulan di beberapa wilayah Sumsel, terutama
kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Musi Banyuasin (Muba), Banyuasin, sebagian
wilayah kabupaten Ogan Ilir,dan kabupaten lainnya di Sumsel. Hampir selama empat bulan itupula, masyarakat
Palembang dan sekitarnya terkepung dan terpaksa menghirup asap di
kesehariannnya. Asap itupun tidak tebang pilih, ia masuk dalam saluran
kerongkongan anak-anak, orang tua, perempuan hamil, hingga mereka kelompok
riskan udara kotor, seperti penderita asma. Akhirnya, asap jugalah yang mengakibatkan
lima orang balita di Sumsel meninggal dunia.
Duka.. memang amat duka..
Duka mengetahui jika udara bersih saja menjadi barang amat
mahal dan sulit diperoleh masyarakat. Banyak dokumentasi karhutla sudah menjadi
makanan (tontonan) di hampir seluruh media. Bahkan, media sosial juga kerap
menjadikannya tranding topik perhari. Masih ingat, jika umat muslim harus
sholat ied, di kepungan asap di pagi hari. Tidak urung, pemerintah juga
kewalahan, bala tentara dan polisi disiagakan meretas kebakaran tersebut.
Nampak sekali, atau benar-benar penanggulangan kabut asap seolah menjadi
operasi militer.
Asap membumbung pada
lahan-lahan terbakar, laha-lahan yang amat luas itu terekam jelas dan malah sangat
jelas. Inilah yang sebenarnya bisa menjadi salah satu pembuktian jika ekologi
dan lingkungan Sumsel sudah rusak parah. Duka inilah yang bisa menjadi
pembuktian empiris, dan seharusnya bisa menjadi alat bukti pada kacamata hukum
jika ingin menjerat para aktornya.
Dari dua lokasi yang dinyatakan sumber titik api (hotspot) terbanyak,
yakni kabupaten OKI dan Muba, juga bisa dilihat dari pengamatan satelit. Dalam
pengalaman saya meliput, beberapa instansi memegang data satelit yang sedikit
berbeda ketepatannya namun ketidaktepatan pendeteksian titik api bukan berarti
menjadi pembenar jika di lokasi tersebut tidak terdapat titik apinya. Hal ini
juga salah pembuktian, jika hanya melihat keberadaan titik api dari pengamatan
satelitnya. Data satelit sebenarnya bisa menjadi data primer jika dilokasi bersangkutan
terdeteksi titik api. Apakah titik api muncul di lahan perusahaan, apapun
statusnya, apakah lahan konsensi, lahan inti, atau lahan plasma, atau juga
milik masyarakat.
Dalam ilmu fisika, keberadaan api bisa ditangkap oleh
pancaindra mata, kulit, dan juga hidung, bahkan akibat telah majunya perkembangan
teknologi informasi, keberadaan api dan asap juga bisa dikumentasikan dalam
foto atau video. Pendek kalimatnya, dokumentasi foto dan video juga bisa
menjadi alat bukti karhutla.
Sebentar,...
saya sengaja menulisnya sedikit melompat-lompat. Karena berusaha
memunculkan logika yang saling hubungan hingga terdapat kesimpulan sebagai
upaya penyingkronan alat bukti dakwaan pelanggaran UU. Alat bukti tentu berbeda
dari saksi. Pemilihan saksi jelaslah yang bisa memdukung alat bukti pada
gugatan. Bagaimana jika saksinya seorang pegawai pemerintah, misalnya dari kedinasan?. Kalimatnya akan seperti ini, gugatan pemerintah dihadiri saksi
pihak tergugat juga dari pemerintah. Berarti,,?..
Lalu penyebab lain, mengapa 2015 menjadi tahun suram bagi
ekologi Sumsel, yakni mentalnya gugatan yang dilayangkan pemerintah, melalui
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKHK) pada perusahaan PT. Bumi Mekar
Hijau (PT. BMH) di kabupaten OKI, Sumsel, Karhutla 2014. Perusahaan anak group
Sinar Mas ini digugat oleh pemerintah Indonesia senilai Rp7,9 Triliun.
Sebenarnya bagi sebagian teman wartawan yang sering meliput
Karhutla, besarnya nilai gugatan yang menjadi isu lebih menohok untuk
diberitakan. Upaya non adminitratif yang dilakukan pemerintah kali ini,
nampaknya serius. Indikasinya, hal ini baru pertama kali dilakukan pada
perusahaan perkebunan. Berdasarkan sejarahnya, gugatan yang
dilayangkan pemerintah Indonesia pada ranah pengadilan baru terjadi di saat
ini. (hasil gooegling). Apakah langkah ini, benar-benar menjawab asa menjerat
aktor karhutla di tanah air?..
Mengapa muncul nomimal Rp7,9 Triliun?. Kerugian ekologis yang
dinasbikan dalam uang itu berbentuk satuan mata uang rupiah dengan perinciannya
seperti ini, Rp2.687.102.500.000 merupakan nilai gugatan perusahaan perkebunan
karena sudah merugikan lingkungan hidup dan Rp5.299.502.500.000 itu dibebankan
guna biaya pemulihan lingkungan. Sidang yang berlangsung sejak Juni itupun
bergulir dan melaju di Pengadilan Negeri (PN) kelas IA Palembang. Di Penghujung tahun, tepat 30 Desember, nilai
gugatan itu ditolak majelis hakim, dan membebankan pemerintah sebagai pihak
yang kalah juga harus membayar biaya perkara Rp10.251.000.
Ingat !!, hanya di Pengadilan yang notabene juga minim hakim
bersertifikasi lingkungan. (Siapa yang mau disalahkan akan hal ini?). Jika
kalimat di dalam kurung dibahas, biasanya ujung-ujungnya seperti muaranya, “Regulasinya
dong dibenahi”. Lalu, jika kalimat miring berkutip itu ditelaah, maka bisa juga
kejawab siapa aktornya. Lebih mirip seperti benang kusut ya?,.. Teman saya
berkata jika lingkarannya hanya itu-itu saja.
Sebelumnya, penulis juga pernah menulis apa yang menjadi
alasan hakim pengadilan menolak dalam amar keputusannya. Hal itu, dilakukan
karena banyak yang mencari tahu tentang dalil gugatan apa ditolak?, ditolak seluruhnya
atau sebagian?, di dalil mana yang tidak
terbukti?, tentu apa alasan hakim ditolak?. (sebenarnya kesemua pertanyaan itu,
juga kebutuhan saya menulis dengan melekatkan kepentingan publik harus tahu!).
Saat “asa menjerat” dibungkus dalam jalur
pengadilan itu, duka asap akibat karhutla terus dirasakan paru-paru masyarakat.
Dua kali pasukan TNI dan dibantu polisi harus diganti dalam tugas militer
mereka menjaga api agar membesar. Pasukan keamanan itu pun ditugaskan membuat
sekat kanal perairan lahan. (Nah, cuba dicek, itu lahan milik siapa?). Asap
Sumsel juga mengundang Presiden Jokowi, hampir tiga kali ke OKI.
Selain itu, tidak perlu dihitung lagi berapa kali
watterbombing dilakukan di langit Sumsel, terutama OKI, Muba dan kabupaten
penyumbang hotspot lainnya. Catatan berita, di akhir status siaga darurat
Karhutla sekitar minggu ketiga November, water bombing sudah dilakukan BNPB
(pemerintah) memasuki ke 912 hari.
BNPB merilis, karhutla tahun 2015, mengakibatkan kerugian
ekonomi Rp221triliun (ini diluar sektor kesehatan dan pendidikan). Dengan nilai
kerugian yang amat timpang dengan nilai gugatan itu membuat Indonesia mengalami
perlambatan senilai 1,5 % Produk Domestik Bruto Nasional (PDBN). Selain itu, atas
karhutla di Indonesia masih tahun 2015, sebanyak 600.000 jiwa masyarakat sakit ispa,
(termasuk saya) karena terpapar asap.
Apakah dengan kejadian
suram ini, masih belum mampu menghadirkan alat bukti di persidangan?.
Karena itu, kehadiran negara dalam penegakkan hukum yang adil,
atas lalainya perusahaan perkebunan hendaknya menjadi catatan untuk segera “diberesin”.
Perusahaan yang menjangkau kawasan gambut Sumatera ini, nampaknya mengetahui
benar celahnya, dan tentu moral para hakim harus disungguhkan pada
pendeskriptifkan masalah di atas sebagai pertimbangan. Tulisan selanjutnya mengenai pembekuan izin perusahaan.
Komentar
Posting Komentar